Rabu, 20 Januari 2016

"Dokter sudah Menyerah dan Memvonis Mati ..."



Ungkapan ini tidak jarang terdengar, atau terbaca, dalam beberapa kesempatan. Termasuk dalam diskusi kita seputar laporan temuan sebuah "terapi kanker" baru-baru ini. Maaf, mohon kiranya dapat dipahami bahwa kata-kata seperti itu, tajam sekali menusuk hati dokter dan pemberi pelayanan kesehatan. Apalagi kalau kemudian diteruskan dengan "... kalau sudah begitu, apa nggak boleh pasien berobat pada kami? ... toh nyatanya sembuh..."


Bahwa ada dokter yang barangkali pernah mengatakan seperti itu, tentu jelas itu tidak mewakili semua dokter, apalagi institusi kedokteran. Sama dengan tidak semua hakim mau disuap, atau tidak semua jaksa korupsi, tidak semua polisi suka pungli, dan jelas tidak semua peneliti pernah melakukan plagiasi atau rekayasa data. Jauh lebih banyak yang tetap dalam koridor profesional.


Yang terjadi adalah, pelayanan kedokteran TIDAK boleh menjanjikan hasil. Yang DIJANJIKAN secara maksimal adalah PROSES. Untuk setiap laporan mengenai uji klinis, maka akan ada terminologi yang menjelaskan hasil-hasil penelitian secara apa adanya. Katakanlah untuk topik onkologi, seperti yang seru kita bahas hari-hari ini, ada istilah seperti survival rate (lengkapnya 5 years atau 10 years survival rate), disease-free rate, occurance rate atau relaps-free rate. Terkait modalitas terapi, ada terminologi seperti Number-to-treat ratio atau Odds-ratio. Yang dalam semua terminologi itu, tidak pernah ada - secara teoritis ilmu manusia - yang mencapai nilai mutlak 100% sembuh, 100% tanpa efek samping, 100% tanpa risiko relaps (kambuh) atau sebaliknya tidak ada harapan 0%.


Seringkali, Dokter menghadapi pasien sudah pada kondisi yang sudah berat. Katakanlah secara teoritis, berdasarkan pengetahuan terkini dan modalitas terapi yang tersedia bagi pasien, survival rate tinggal 5%. Maka Dokter akan mengatakan apa adanya: harapan untuk berhasil dengan terapi ini 5%. Atau bisa juga, dengan tindakan operasi ada harapan hasil baik sekian persen. Kalau secara konservatif dengan obat ini sekian persen. Kalau memilih tanpa terapi, sekian persen. Kata-kata "sekian persen" ini seringkali masih bersyarat "berhasil tetapi untuk selanjutnya perlu bantuan menjalani aktivitas sehari-hari" atau "berhasil tetapi harus diteruskan dengan terapi jangka panjang" dan sebagainya. "Angka-angka" itu selalu bergerak, ke arah lebih baik, sesuai perkembangan ilmu.


Selanjutnya, dokter tetap akan berusaha terbaik, tetapi kembali keputusan ada pada pasien dan/atau keluarganya. Pada kondisi inilah, pilihan tidak mudah. Kemudian, sebagian diantara pasien memilih untuk "mencoba" alternatif lain. Dalam usahanya itulah, sering terlontar kata-kata "lha Dokternya sudah menyerah,rumah sakit sudah angkat tangan...".


Lontaran itu adalah ekspresi dari mekanisme pembelaan ego. Secara pribadi, untuk diri pasien sendiri, barangkali itulah caranya menata hati, menumbuhkan sugesti dalam diri. Sayangnya kemudian, pihak lain yang mendengarnya, tidak jarang menjadikannya semacam justifikasi untuk menyimpulkan tentang terapi alternatif yang dijalaninya. Kalau nanti ternyata dengan alternatif bisa membaik - yang sering diartikan sebagai sembuh - maka dengan mudah terlontar "padahal dokter sudah angkat tangan lho...". Tetapi giliran tidak berhasil, yang terlontar "yah gimana lagi, wong dokter juga sudah angkat tangan kok". Kalau kemudian ada yang kembali ke dokter awal dengan kondisi lebih buruk, tidak jarang juga, pasien enggan mengungkapkan apa adanya. Padahal informasi jujur dan lengkap dari pasien adalah HAK dokter sebagai imbangan kewajiban untuk memberikan pelayanan terbaik (UU Praktek Kedokteran 29/2004 pasal 50-51).


Karena sebagian besar dokter, sesuai kompetensinya, tidak banyak pengetahuan tentang "terapi alternatif", maka mereka juga tidak pada posisi mendorong, ataupun melarang. Mereka hanya berharap pasien jujur, bila memang memiliki terapi lain apalagi kalau dijalani secara simultan dengan terapi medis yang diinstruksikan dokter.


Barangkali ada yang kemudian menggugat, mengapa masih ada yang ternyata sembuh dengan terapi "alternatif"? Bahkan ada yang "pasrah" di rumah ternyata membaik? Bukankah memang disebutkan di atas bahwa masih ada sekian persen - sekecil apapun itu - kemungkinan memang membaik? Toh informasi itu pun disampaikan apa adanya.


Bahwa cara menyampaikan, tentu disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien. Karena itu dalam kurikulum kedokteran sekarang, salah satu sendi utamanya adalah keterampilan berkomunikasi. Juga dalam standar akreditasi RS sekarang, ada standar khusus tentang Pendidikan bagi Pasien dan Keluarga (PPK). Begitu juga, memberikan informasi apa adanya adalah kewajiban dokter. Namun dokter juga diajarkan untuk terampil berkomunikasi yang bertujuan menjaga dan mendorong daya juang pasien dan keluarganya untuk tetap berusaha, karena jelas juga tidak ada harapan 0% secara teori ilmu kedokteran. Dalam konsep psikoneuroendokrinoimunologi, semangat hidup dan daya juang, berperan penting dalam memperbaiki kondisi, atau minimal untuk mempertahankannya sehingga bisa menjalani kondisi paliatif dengan lebih nyaman.


Sampai di sini saya berharap, kita bisa lebih saling memahami. Tidak perlu lontaran seperti ini kita biasakan. Apalagi kita jadikan justifikasi atau pembenaran untuk kemudian melakukan tindakan terapi yang belum dilindungi legislasi. Pasien yang mencari pertolongan, tidak bisa disalahkan. Tetapi yang berkesempatan menolong, haruslah lebih bijak. Silakan menolong, silakan berbuat untuk membantu, tetapi tanpa perlu justifikasi bahwa "dokter sudah angkat tangan".

Unknown

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright @ 2013 Liputan Sehat.

Designed by Templateiy & CollegeTalks